Pembatasan bahan bakar minyak (BBM) yang sedianya diberlakukan mulai 1 Mei 2012 kembali batal. Rencana pembatasan BBM bersubsidi ini dimaksudkan untuk menyelamatkan anggaran negara dari pembengkakkan subsidi yang belakangan kian membesar dan bisa dibilang sebagai akibat penundaan kenaikan BBM bersubsidi yang sedianya diplot naik per 1 April 2012.
Seperti kita ketahui bersama, BBM bersubsidi faktanya lebih banyak digunakan oleh golongan masyarakat menengah ke atas. Karena, golongan inilah yang mempunyai kendaraan pribadi, baik motor maupun mobil yang memang menggunakan BBM.
Namun, tarik ulur yang dilakukan pemerintah terkait kebijakan pembatasan penggunaan BBM bersubsidi, tak pelak menimbulkan kekhawatiran masyarakat. Bagaimana tidak? Pembatasan BBM mengharuskan masyarakat yang mempunyai mobil dengan CC 1.500 ke atas menggunakan pertamax. Hal ini dinilai lebih memberatkan dibandingkan rencana kenaikan harga BBM bersubsidi sebelumnya, yakni dari Rp 4.500 per liter menjadi Rp 6.000 per liter. Otomatis masyarakat yang memiliki mobil dengan cc 1.500 ke atas harus mempersiapkan menambah budget lebih besar untuk mendapatkan bensin per liternya dibanding jika harga BBM subsidi tersebut jadi dinaikkan pada April lalu.
Selain itu, masyarakat pun telah dihadapkan dengan persoalan kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok yang semakin melambung tinggi, walaupun pembatasan BBM bersubsidi belum mendapatkan kepastian. Bukan tidak mungkin, harga kebutuhan pokok akan semakin meroket naik, apabila pembatasan BBM bersubsidi jadi dilaksanakan. Masalahnya, ongkos produksi atas kebutuhan bahan pokok praktis akan menjadi semakin besar.
Energi Alternatif
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Indonesia bukan lagi menjadi negara pengeskpor minyak sejak mundurnya Indonesia dari keanggotaan Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) tahun 2008. Produksi minyak Indonesia saat ini rata-rata mencapai 930 ribu barel per hari (bph), padahal jumlah kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri rata-rata diperkirakan 1,4 juta bph. Oleh sebab itu, untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri, kita harus mengimpor BBM yang menyebabkan membengkaknya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Untuk mencegah agar hal tersebut tidak terjadi kembali di masa yang akan datang, pemerintah harus dengan segera memikirkan cara terbaik untuk mengurangi konsumsi pemakaian BBM, selain dengan memberlakukan pembatasan BBM bersubsidi. Salah satunya, wacana konversi dari penggunaan BBM ke bahan bakar gas (BBG) perlu segera direalisasikan.
Konversi BBM ke BBG dinilai lebih menguntungkan konsumen, karena BBG memiliki oktan 130 dan harganya setara dengan Rp 3.100 harga per liter, sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan harga premium bersubsidi saat ini (Rp 4.500 per liter) dan hanya memiliki kadar oktan 88. Selain oktannya lebih tinggi dan harganya lebih murah dibandingkan dengan premium, BBG juga ramah lingkungan karena tidak mengandung SO2/NOx (sulfur dioksida/nitrogen monoksida).
Namun, untuk merealisasikan hal tersebut tentu bukan perkara mudah. Sosialisasi secara menyeluruh tentang konversi penggunaan BBM ke BBG perlu dilakukan secara inyensif. Ini penting agar masyarakat tidak ragu-ragu lagi terkait keamanan penggunaan BBG yang tentunya juga harus diikuti dengan pembangunan dan penyedian infrastruktur dalam menunjang konversi dari BBM ke BBG.
Dalam hal ini, dukungan pemerintah kepada industri-industri dalam negeri untuk menciptakan converter kit dengan harga terjangkau masyarakat, perlu dilakukan. Sehingga, hal tersebut tidak terasa memberatkan masyarakat. Dengan sosialisasi dan promosi yang intensif, diharapkan convertir kit buatan dalam negeri bisa diterima dengan baik oleh masyarakat Indonesia. Dalam hal ini, produk hasil produksi dalam negeri tentunya juga harus berkualitas dan bisa bersaing dengan produk serupa dari impor.
Selain itu, pemerintah juga dapat membangkitkan kembali penggunaan bahan bakar nabati (biofuel), seperti biodiesel dan bioetanol. Keduanya dapat dijadikan sebagai salah satu energi alternatif yang dapat digunakan untuk mengantisipasi menipisnya cadangan BBM.
Namun, dengan kenyataan bahwa biaya produksi pembuatan biofuel masih di atas BBM, membuat banyak pihak terkesan malas menggarap biofuel. Padahal, biofuel seharusnya menjadi potensi ekonomi yang sangat besar di Indonesia. Sebab, bisa diproduksi oleh rumah tangga. Biofuel bisa diproduksi dari sumber yang terbarukan mulai dari biji jarak pagar, atau jathropa, kelapa sawit, singkong, aren, hingga alga yang dengan mudah dikembangbiakkan di laut. Akan tetapi, adanya subsidi secara besar-besaran dan terus-menerus yang diberikan pemerintah membuat satu per satu produsen biofuel gulung tikar karena tidak mampu bersaing dengan BBM.
Perlu juga diingat, untuk merealisasikan hal itu semua, tidak cukup dengan menumpukan peran kepada pemerintah saja. Sebagai bagian dari warga bangsa, kita harus mendukung adanya konversi bahan bakar tersebut, karena tanpa dukungan dari masyarakat, hal itu akan sulit untuk diwujudkan. Kita dapat mencontoh konversi minyak tanah ke gas, walaupun pada awalnya banyak masyarakat yang menolak adanya konversi tersebut, namun pada akhirnya dengan kerja sama antara pemerintah dan masyarakat, konversi tersebut dapat terealisasikan dan berjalan lancar hingga saat ini.
Dengan demikian diperlukan kerja sama yang baik antara pemerintah dan masyarakat untuk menyelesaiakan permasalahan ini. Kita sebagai anggota masyarakat jangan hanya bisa menuding kebobrokan pemerintah, tetapi terkadang kita lupa atas apa yang kita lakukan sendiri. Masyarakat harus ikut berbenah diri karena ini merupakan permasalahan bersama bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar